Pengembalian Kerugian Negara Tidak Menghapuskan dipidanya Pelaku Tindak Pidana Korupsi
Penulis,
Hamid S.H.,M.H., Advokat Peradi
Dan Kuasa Hukum DPC Apdesi
Pasal
2
UU No.31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi :
1. Setiap orang yang secara
melawan Hukum melakukan perbuatan memeprkaya diri sendiri atau orang lain atau
suatu Korpurasi yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara,
dipidana dengan Pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling alam
20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp.200.000.000,00 (dua ratus juta
rupiah) dan paling banyak
Rp.1000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
2. Dalam tindak Pidana
Korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu ,
pidana mati dapat dijatuhkan.
Bahwa
ketentuan Tindak Pidana Korupsi didalam Pasal 2 ayat (1) UU No.31 Tahun 1999
tentang Tinddak Pidana Korupsi merupakan delik yaitu danya tindak pidana
korupsi, cukup dengan dipenuhinya unsur-unsur perbuatan yang dirumuskan, bukan
dengan timbulnya akibat dengan rumusan secara Formil yang dianut dalam Undang-undang ini meskipun hasil korupsi
telah dikembalikan kepada Negara, pelaku (dader)
tindak pidana korupsi tetap diajukan Kepengadilan dan tetap dipidana (dihukum).
Dengan dirumuskannya Tindak Pidana Korupsi
seperti yang terdapat dalam Pasal 2 ayat (1) sebagai delik formil, maka adanya kerugian Negara atau kerugian
perekonomian Negara tidak harus sudah terjadi, karena yang dimaksud dengan dari
Formil adalah delik (tindak pidana) yang di anggap telah selesai dengan
diadakannya tindakan yang dilarang dan diancam dengan Hukuman oleh
Undang-undang, sehingga oleh karenanya agar seseorang dapat dinyatakan bersalah
tidak perlu adanya alat bukti untuk membuktikan bahwa memang telah terjadi
kerugian Negara atau perekonomian Negara, sedangkan ketentuan yang terdapat
dalam Pasal 1 ayat (1) huruf a UU No.3 tahun 1971 Tindak Pidana Korupsi
merupakan delik materill, yaitu delik yang dianggap terbukti dengan
timbulnya akibat yang dilarang dan diancam dengan hukuman oleh Undang-undang.
Sebagai pelaku dari tindak pidana korupsi
yang terdapat dalam Pasal 2 ayat (1) UU No.31 tahun 1999 telah ditentukan “setiap orang”. Tidak ditentukan adanya
suatu syarat, misalnya syarat pegawai Negeri yang harus menyertai “setiap orang” yang melakukan tindak
pidana korupsi dimaksud.
Oleh karena itu, sesuai apa yang dimaksud
dengan “setiap orang” dalam Pasal 1
angka 3 (setiap orang adalah orang perseorangan atau termasuk korporasi),
sehingga yang dimaksud pelaku tindak korupsi yang terdapat dalam Pasal 2 ayat
(1) dapat terdiri atas:
a. Orang perseorangan, dan/atau
b. Korporasi.
Jika diteliti ketentuan tindak pidana korupsi
seperti yang terdapat dalam Pasal 2 ayat (1) akan ditemui beberapa unsur
sebagai berikut :
A. secara melawa Hukum ;
B. memperkaya diri sendiri
atau orang lain atau suatu korporasi ;
C. merugikan keuangan Negara
atau perekonomian Negara ;
ad.A
Yang dimaksud dengan
melawan Hukum “secara melawan Hukum”
mencangkup perbuatan melawan Hukum dalam arti Formil “maupun” dalam arti materill, yakni meskipun perbuatan tersebut
tidak diatur dalam per-u2an, namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela,
karena tidak sesuai dengan rasa keadilan ata norma-norma kehidupan social dalam
masyarakat, maak perbuatan tersebut dapat dipidana.
Ad.B
Yang dimaksud dengan
“memperkaya” adalah perbuatan yang dilakukan untuk menjadi lebih kaya (lagi)
dan perbuatan ini sudah tentu dapat dilakukan dengan bermacam-macam cara,
misalnya : menjual/membeli, menandatangani kontrak, memindah bukukan dalam
bank, dengan syarat tentunya dilakukan dengan cara melawan Hukum. Senada dengan
maksud unsur “memperkaya” seperti diatas adalah pertimbangan Hukum dari Putusan
Pengadilan Negeri Tanggerang Tanggal 13 Mei 1992 Nomor:18/Pid/B1992PN/TNG/11)
yang menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan “memperkaya” adalah menjadikan
orang yang belum kaya menjadi kaya dan orang yang sudah kaya bertambah kaya.
Ad.C
Yang dimaksud dengan
“merugikan” adalah sama artinya menjadi rugi atau berkurang sehingga unsur
“merugikan keuangan Negara” adalah sama artinya menjadi ruginya keuangan Negara
atau berkurangnya keuangan Negara.
Adapun apa yang dimaksud
dengan “keuangan Negara”, didalam penjelasan umum UU No.3 Tahun 1999 disebutkan
bahwa keuangan Negara adalah seluruh kekayan Negara dalam bentuk apapun yang
dipisahkan atau tidak dipisahkan termasuk didalamnya sesuat bagian kekayaan
Negara dan segaa hak dan kewajiaban yang timbul karema
a. berada dalam
penguasaan,pengurusan, dan pertanggung jawaban pejabat lembaga Negara, baik
tingkat pusat maupun didaerah ;
b. beraad dalam pengasaan,
kepengurusan, dan pertanggung jawaban BUMN/BUMD, yayasan badan Hukum dan
perusahaan yang menyatakan modal Negara atau perusahaan yang menyatakan modal
pihak ke-3 berdasarkan perjanjian dengan Negara.
Adapun yang dimaksud
dengan perekonomian Negara adalah kehidupan perekonomian yang disusun sebagai
usaha besama berdasarkan azas kekeluargaan ataupun usaha masyarakat secara
mandiri didasarkan pada kebijakan pemerintah, baik di tingkat pusat maupun di
Daerah sesuai dengan ketentuan per-u2an yang berlaku yang bertujuan memberikan
manfaat, kemakmuran dan kesejahteraan kepada seluruh rakyat.
Pasal 3
UU No.31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi :
Setiap orang yang dengan
menguntungkan mengntungkan diri sendiri atau orang lain atau korporasi,
menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena
jabatan atau kedudukanyang dapat merugikan keuangan Negara tau perekponomian
Negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling
singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan/atau denda
paling sedikit Rp.50.000.000,00 (lima puluh juta pupiah) dan paling banyak
Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Bahwa ketentuan Tindak
Pidana Korupsi didalam Pasal 3 UU No.31 Tahun 1999 tentang Tinddak Pidana
Korupsi sama merupakan seperti penjelasan Pasal 2 ayat (1) bahwa tindak pidana
korupsi merupakan delik formil, yaitu adanya tindak pidana korupsi cukup dengan
dipenuhinya unsur-unsur yang telah dirumuskan, bukan timbulnya akibat.
Pelaku dari tibndak pidana
korupsi yang terdapat dalam Pasal 3 ditentukan “setiap orang”, sehingga
seolah-olah “setiap orang” dapat melukan tindak pidana korupsi yang terdaptat
dalam Pasal 3. Tetapi, dalam Pasal 3 tersebut ditentukan bahwa pelaku tindak
pidana korupsi yang dimaksud harus memangku suatu “jabatan atau kedudukan”.
Oleh karena yang dapat
memangku suatu “jabatan atau kedudukan” hanya orang perseorangan maka tindak
pidana korupsi yang terdapat dalam Pasal 3 hanya dapat dilakukan oleh orang
perseorangan sedangkan korporasi (kumpulan orang dan/atau kekayan yang
terorganisir baik merupakan badan Hukum maupun bukan badan Hukum) tidak dapat
melakukan tindak pidana korupsi tersebut.
Ada beberapa unsur dalam
tindak pidana korupsi tersebut dalam Pasal 3 sebagai berikut:
A. menguntungkan diri sendiri
atau orang lain atau suatu korporasi ;
B. menyalah gunakan
kewenangan kesempatan atau sarana yang ada akarena jebatan atau kedudukan ;
C. merugikan keuangan Negara
atyau perekonomian Negara.
Ad.A
Yang dimaksud dengan “menguntungkan”
adalah sama artinya dengan mendapat untung pendapatan yang diperoleh lebih
besar dari pengeluaran, terlepas dari penggunaan lebih lanjut dari pendapatan
yang diperolehnya, maka yang dimaksud dengan unsur “menguntukan diri sendiri
atau orang lain atau korporasi” adalah sama artinya dengan mendapatkan untung
untuk diri sendiri atau orang lain atau korporasi. Tindak pidana korupsi yang
terdapat di dalam Pasal 3, “menguntukan diri sendiri atau orang lain atau
korporasi” tersebut adalah tujuan dari pelaku tindak pidana korupsi.
Ad.B
Yang dimaksud dengan
“menyalah gunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang merekat karena
jabatan atau kedudukan” tersebut adalah menggunakan kewenangan, kesempatan,
atau sarana yang melekat pada jabatan atau kedudukan yang dijabat atau diduduki
oleh pelaku tindak pidana korupsi untuk tujuan lain dari maksud diberikannya
kewenangan, kesempatan atau saranan tersebut.
Bahwa untuk mencapai
tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau korporasi harus ditempuh
oleh pelaku tindak pidana korupsi, yaitu :
a. dengan menyalah gunakan
kewenangan yang ada pada jabatan atau kedudukan dari pelaku tindak pidana
korupsi yang dimaksud dengan “kewenangan” adalah serangkaian hak yang melekat
pada jabatan atau kedudukan dari pelaku tindak pidana korupsi untuk mengambil
tindakan yang diperlukan atas tugas pekerjanya dapat dilaksanakan dengan baik.
b. Dengan menyalah gunakan
kesempatan yang ada pada jabatan atau kedudukan dari pelaku tindak pidana
korupsi yang dimaksud dengan “kesempatan” adalah peluang yang dapat dimanfaatkan
oleh pelaku tindak pidana korupsi, peluang mana tercantum didalam
ketentuan-ketentuan tata kerja yang berkaitan dengan jabatan atau kedudukan
yang dijabat atau diduduki oleh pelaku tindak pidana korupsi.
c. Dengan menyalah gunakan
sarana yang ada pada jabatan atau kedudukan dari pelaku tindak pidana korupsi
yang dimaksud dengan “sarana” adalah cara kerja atau metode kerja yang
berkaitan dengan jabatan atau kedudukan dari pelaku tindak pidana korupsi.
Ad.C
Untuk uraian dan
pembahasan tentang unsur “merugikan keuangan negara atau perekonomian negara”,
agar diperhatikan kembali uraian dan pembahasan ketentuan tindak pidana korupsi
yang terdapat dalam Pasal 2 ayat (1) UU 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana
Korupsi.
Pasal 4
Pengembalian kerugian
keuangan Negara atau perekonomian Negara tidak menghapuskan pidananya bagi
pelaku tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3.
Adapun mengenai adanya “kerugian keuangan Negara” atau “kerugian perekonomian Negara”, apakah telah atau belum dikembalikan tidak menjadi masalahnya. Dalam penjelasan Pasal 4 disebutkan bahwa pengembalian kerugian Negara atau perekonomian Negara tidak ada alasan pemaaf, pembenar, dan tidak menghapuskan pidana, dan pelaku tindak pidana korupsi tetap diajukan kepengadilan dan tetap dipidana (dihukum) pengembalian kerugian Negara atau perekonomian negara hanya merupakan salah satu faktor meringankan.